Wujudkan Kolaborasi di Masa Mendatang melalui International Workshop Universitas Udayana x Murdoch University

 

Universitas Udayana menerima scholar visit (kunjungan akademik) dari Murdoch University pada Selasa, 4 Februari 2025 secara luring di Ruang Senat Lt. 4, Gedung Agrokompleks, Universitas Udayana, Kampus Sudirman, Denpasar, dan disiarkan langsung secara daring di kanal YouTube Udayana TV. Kegiatan ini merupakan lokakarya internasional terkait pertanian di Bali dan tata kelola sumber dayanya, yang dihadiri oleh Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana (FKH Unud), Prof. Dr. drh. I Nyoman Suartha, M.Si., Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana (FP Unud), I Putu Sudiarta, S.P., M.Si., Ph.D., dua Dosen Murdoch University, Dr. Jassim Uddin dan Dr. Animesh Kumar Gain, serta lima pembicara, yaitu Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika, Prof. John Stephen Lansing, Prof. Dr. I Wayan Windia, S.H., M.Si., Prof. Dr. Ir. Ketut Suamba, M.P., dan Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M. Litt. 

 


Lokakarya ini diawali dengan sambutan resmi oleh Dekan FKH Unud, Dekan FP Unud, serta dosen dari Murdoch University. Dalam sambutannya, mereka menyampaikan harapan terhadap lokakarya ini agar dapat menjadi wadah antara Universitas Udayana dan Murdoch University untuk berkolaborasi dan berkarya ke depannya. Dalam kegiatan ini sebanyak 26 mahasiswa dari Murdoch University hadir sebagai peserta kunjungan akademik.

 


Kegiatan ini dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama dimulai oleh Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika yang memaparkan topik “Animal Health in Bali: Challenges”, beliau menyoroti Provinsi Bali dengan kepadatan penduduk yang tinggi, meliputi manusia, hewan peliharaan, hewan ternak, dan satwa liar yang memungkinkan penyebaran agen penyakit secara bebas antara manusia dan hewan. Selanjutnya, materi kedua dipaparkan oleh Prof. John Stephen Lansing dengan topik “Culture Landscape of Balinese Subak” yang disampaikan secara daring via Zoom Meeting. Beliau memaparkan terkait masalah emisi metana dari sawah yang diakibatkan oleh bakteri metanogenik saat sawah tergenang air. Jika sawah mengering dalam waktu singkat, maka bakteri berhenti menghasilkan metana sehingga emisi turun drastis. Melalui penelitian di Bali, dilakukan perbandingan kandungan metana antara sawah yang selalu tergenang air dengan sawah yang hanya diberi air saat tanah mengering. Pada penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa sawah yang lebih kering menghasilkan 80% lebih sedikit metana dibandingkan sawah yang selalu tergenang air. Meskipun terdapat perbedaan kadar air, padi akan tetap tumbuh di kedua lahan tersebut jika disertai dengan pengelolaan tanah yang baik. Hal tersebut akan menguntungkan para petani yang menggunakan lahan kering dengan menjual kredit karbon sebagai bukti pengurangan emisi, kestabilan hasil panen, serta lingkungan yang lebih terjaga.

 


Sesi kedua menghadirkan tiga pembicara dengan topik berbeda. Sesi ini dibuka dengan pemaparan materi berjudul “Subak di Bali dan Beberapa Masalahnya” oleh Prof. Dr. I Wayan Windia, S.H., M.Si. Beliau memaparkan subak dalam aspek hukum di mana keberadaan subak sudah diakui di Indonesia yang tercantum dalam UUD RI pasal 18B ayat 2, 28I No. 3, dan Pasal 32. Meskipun demikian, hingga saat ini masih belum ada kejelasan pengakuan dan penghormatan yang harus dijalankan karena masih belum tersedia UU organik terkait hal tersebut. Pemerintah Provinsi Bali perlu menyesuaikan peraturan daerah subak dan desa adat dengan UU No. 15 Tahun 2023. Sayangnya, regulasi mengenai subak masih belum memiliki ketentuan khusus dalam peraturan nasional hingga menimbulkan kerancuan yang berhubungan dengan eksistensi subak, seperti kasus alih fungsi lahan yang menyebabkan sekitar 1.568 hektare lahan pertanian di Bali lenyap setiap tahunnya. 

 


Selanjutnya, pemaparan materi disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. I Ketut Suamba, M.P., dengan topik “The Institution Of Subak”, Beliau memaparkan bahwa subak melambangkan unsur Tri Hita Karana (wujud hubungan yang harmonis antara manusia, Tuhan, dan alam) sebagai landasan dalam sistem irigasi tradisional di Bali. Selain itu, beliau juga menyoroti permasalahan subak, seperti air semakin berkurang, kerusakan jaringan, pendangkalan, dan yang paling sulit diatasi adalah masalah limbah. Beliau berpendapat bahwa masalah ini dapat diatasi dengan gotong royong dan pendirian fasilitas pengolahan sampah. Setelah pemaparan tersebut, materi terakhir disampaikan oleh Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., dengan topik “Culture and Tourism Agriculture Decline”. Topik ini menggarisbawahi pelestarian lahan pertanian dan keberlanjutan sistem subak yang menghadapi tantangan pemanfaatan sawah dan subak sebagai objek wisata, yang sering kali menimbulkan konflik. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya harus tetap dinamis dan berkelanjutan. 

 


Kegiatan lokakarya internasional ini akan dilanjutkan dengan kunjungan wisata pada 5-8 Februari 2025. Selama periode tersebut, peserta akan melakukan kunjungan wisata ke Monkey Forest, Desa Wisata Penglipuran, Kintamani, Satria Coffee Plantation, Subak Lodtunduh (diskusi bersama 15 pekaseh (petugas yang mengatur sistem irigasi), Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVet), lokakarya bersama satu kelian dan 15 penduduk lokal Karangasem, Tenganan Forest, Taman Ayun, Bedugul, dan Tanah Lot.

 


Kegiatan kunjungan akademik ini berjalan lancar, terlihat dari keaktifan dan antusiasme peserta selama sesi diskusi. Sebagai penutup, dilaksanakan sesi foto bersama peserta dan pemberian suvenir kepada para pembicara. Melalui lokakarya ini, peserta diharapkan mampu memahami tentang tata kelola pertanian dan sumber daya, serta berkolaborasi dan berkontribusi di bidang agrikultur untuk masa depan.

Penulis : Anindytia LPM SS

Penyunting : Anindya Cahya LPM SS